Halaman

bolo-bolo sek wes ngengkrik

blogspot visit
counterEkor (buntut)

Kamis, 26 Mei 2011

Antara hidup dan mati ala ruwet


Papa, seorang teman pernah berkata padaku kalau orang sepertiku tak akan
hidup lama. Sempat kutanya apa yang dia
maksud dengan orang sepertiku. Tak
kulanjutkan, tak perlu, karena mesti tak
benar-benar setuju tapi aku bisa
menghargai pandangannya. Bukankah
seperti itu kita biasa melihat orang, sesuai
dengan apa yang mata kita bisa lihat?
Hujan turun semalam. Tak hanya
menyisakan genangan air di pelataran
pasar yang sebagian masih berlantai
tanah itu tapi juga membuat atap lapak
pedagang yang terbuat dari genteng
basah. Air menetes satu demi satu dari
ujung genteng, menciptakan sebuah
irama. Para pedagang terlihat sibuk
melayani pembeli. Sebagian yang sepi
pembeli memilih menata dagangan
sambil sesekali berteriak, menawarkan
dagangannya. Seorang laki-laki duduk
menghadap ayam-ayam telanjang.
Tangannya yang legam tampak
memegang sebuah kertas. Di antara hiruk
pikuk dia hanya diam.
Akhir-akhir ini mimpi buruk semakin
sering menghampiriku, Papa. Mimpi
buruk yang kuyakin muncul seiring
kacaunya pikiranku. Bukan setan yang
mendatangiku, tapi aku yang
mengundangnya. Itu pun kalau dia benar-
benar ada. Aku baru membaca, Papa,
sebuah novel. Disana diceritakan seorang
gadis yang menerima sebuah surat dari
seseorang yang tak menyebut nama juga
alamat. Hanya sebaris kalimat singkat,
sebuah pertanyaan tepatnya,” Siapakah
kamu?” Kamu tahu, Papa, yang seperti itu
sering sekali kutanyakan pada diriku.
Berawal dari siapa aku, untuk apa aku
dilahirkan, kenapa aku harus menjadi
anakmu, sampai kapan aku disini dan
masih banyak lagi tanya yang lain. Aku
tak tahu jawabannya, Papa, aku masih
bertanya.
Laki-laki itu lebih dari setengah abad
umurnya. Rambut yang didominasi warna
putih juga kulit yang mesti menonjolkan
otot-ototnya yang besar tak bisa
menyembunyikan keriput. Matanya
cekung, lingkaran hitam di bawahnya
menunjukkan malam yang tak
dimanfaatkan benar untuk istirahat atau
pagi yang datang terlalu cepat, entahlah.
Masih kedua tangannya erat memegang
sebuah kertas. Perempuan di sampingnya
sibuk melayani pembeli. Tak ingin
mengusiknya yang seperti tak sedang
menginjak bumi.
Kembali ke perkataan temanku yang
mengatakan aku tak akan hidup lama,
mati muda. Kurasa dia bukan yang
pertama. Bukan dia yang membuat
pikiran-pikiran itu merayap dan kemudian
memenuhi otakku. Aku, aku sering
memikirkannya. Apa kamu mulai berpikir
aku putus asa, Papa? Ah, pernahkah
kamu lihat orang yang lebih semangat
dariku? Pikiran itu tiba-tiba muncul pada
pagi ketika pertama kubuka mataku, pada
siang ketika kutenggelamkan diriku pada
tumpukan buku dan semakin menjadi
pada malam hari. Sudah kusingkirkan, tak
ingin kupikirkan karena aku tahu, aku
ingat sebuah perkataan, mungkin
pertanyaan. Seperti ini kira-kira,“Apa
yang lebih buruk dari orang hidup yang
selalu memikirkan kematiannya?”
Matahari semakin tinggi. Genangan air
mulai mengering. Tak lagi ada tetes-tetes
air dari ujung genteng. Orang-orang
masih lalu lalang. Seorang perempuan
setengah baya terlihat sibuk memilih
ayam. Entah apa ada bedanya.
Perempuan di samping laki-laki itu
terlihat melayaninya. Memotong ayam
setelah sebelumnya menimbang,
memasukkannya ke dalam kresek sambil
menjawab pertanyaan basa-basi adalah
pelayanan yang harus dia berikan pada
tiap pembeli. Tak lupa senyuman
tentunya, manis ataupun getir, senyum
harus selalu mengambang di bibirnya.
Seperti saat ini, ketika laki-laki di
sampingnya hanya kaku memandang
barisan kalimat di atas kertas yang
dipegangnya, bukan, dicengkeramnya.
Apa aku takut pada kematian, Papa?
Tanganku bergetar ketika menulis surat
ini padamu. Sebagian dariku mengatakan,
“Jangan lanjutkan, ini terlalu
mengerikan.” Sebagian, kurasa lebih
dominan, menuntunku untuk terus
menggoreskan pena ini. Aku tak bisa,
Papa. Yang seperti ini tak pernah bisa
kubendung. Dia mengalir dan minta
ditumpahkan. Aku tahu, kamu tak pernah
banyak bicara, Papa. Aku juga tak akan
bicara banyak padamu. Aku tidak takut
kegilaan, Papa, aku benar-benar tidak
takut. Bahkan jika penaku tak lagi bisa
menorehkan tulisan aku yakin kan
kutemukan jalan untuk terus bicara
padamu.
Keringat mengalir, jatuh dan semakin
deras. Tidak hanya membuat wajahnya
basah tapi juga hampir seluruh tubuhnya.
Hari memang semakin panas. Laki-laki
itu, laki-laki setengah abad lebih yang tak
pernah bisa berhenti bergerak saat ini tak
lebih dari patung. Nafasnya terdengar
kasar keluar dari tubuh tua yang semakin
rapuh. Masih, dia menyimak. Masih dia
mengeja kata demi kata yang entah
terbaca seperti apa olehnya. Tak ada yang
tahu karena dia adalah laki-laki yang tak
banyak bicara, tidak pada seseorang yang
keluar dari sebagian tubuhnya.
Apakah ini akan menjadi yang terakhir,
Papa? Aku tidak tahu. Jangan tangisi aku.
Yang seperti itu tak untuk disesali, tak
pernah kusesali. Aku mungkin hanya
akan menghilang dan mungkin aku juga
akan muncul tiba-tiba. Entah dengan rupa
yang sama atau bentuk yang berbeda.
Pernah kubilang akan kutulis takdirku
sendiri. Kamu tahu, Papa, kurasa saat ini
aku sedang menuliskan akhir-(hidup)ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

widhi_zf@yahoo.com

pesbuk'e jangkrik